Wednesday, October 30, 2013

membincang perbedaan

pagi ini berdebat dengan suami, gara-garanya membaca timeline yang ada twitpic sebuah acara "Jomblo Berkah Tanpa Syiah".

Aku bilang "acaranya di masjid UI, ngapain juga kampus UI ngurusin hal ginian?"

Lalu suami bilang,"syiah itu memang salah sih, cuman caranya ya ngga harus gitu (pakai kekerasan) untuk mengarahkannya ke sesuatu yg lebih benar. "

Dan dari situlah perdebatan dimulai. Suami yang lebih paham soal agama, menjelaskan panjang lebar kenapa salah yada yada yada. Lalu merembet ke insiden gereja di bogor yang dibongkar paksa karena didirikan secara ilegal. lalu merembet ke banyak hal. Suami saya orangnya keren, deh! Seringkali saya takjub dengan pengetahuannya akan banyak hal, termasuk soalan hukum-hukum islam dan lain2. (oh, tapi dia tidak tahu apa itu "meme". Ha! Kali ini saya merasa keren :D)

Tapi, dia sedang berbicara dengan saya, orang yang pemahaman agama Islamnya cethek. Saya tidak tahu apa yang membedakan muhammadiyah dan NU, lalu islam kejawen atau islam2 hasil asimiliasi budaya lainnya. Saya juga tidak paham apa itu Syiah dan Sunny. Saya bertanya, "lalu mereka sholat? kitab sucinya alquran? nabinya mohammad?" Jika begitu...lalu dimana masalahnya? See, se-cethek itulah saya melihat sesuatu bernama agama.

Saya bertanya, "kalau Syiah itu diperangi, kenapa ngga sekalian perangi pemeluk agama buddha, kristen, hindu dan atheis sekalian?" Nah kan, makin kelihatan sampai dimana pemahaman saya?

Lalu dia mulai geregetan menjelaskan ke saya yang bebal soalan beginian. Suami adalah orang dengan stock kesabaran yang kayaknya sangat banyak pula (tapi seringkali kehabisan ketika berurusan dengan kebebalan saya :D), dia masih berpijak pada fakta, peraturan dan hukum-hukum yang ada, dia masih sangat waras untuk menggunakan semua itu dalam argumennya. Meski tetap tidak membenarkan tindakan kekerasan apapun unt memaksakan kebenaran ke pihak lain. Lagi2 dia keren!

Tapi asal muasal perdebatan kami bukanlah berita tentang kekerasan agama, melainkan sebuah poster layaknya poster seminar di kampus. Dimananya ada kekerasan? Tidak ada, tapi seminar itu memprovokasi untuk membenci sebuah keyakinan tertentu. Tapi saya membayangkan mengganti kata Syiah itu dengan kristen, buddha, hindu, atheis, konghuchu dan agama-agama lainnya.

Karena di pikiran saya itu bukan soalan hukum-hukum yang harus ditegakkan. Bukan soalan yang benar dan yang salah. (kalau membincang ini, saya yakin saya pun salah. Islam tapi ngga sepenuhnya memahami Islam ).

Menurut saya, ini adalah soalan pelanggaran terhadap hak keimanan/keyakinan orang lain, terlepas apakah keimanan/keyakinan tersebut salah (menurut orang lainnya). Saya seringkali berfikir begini, keyakinan kita terhadap sang pencipta itu adalah hubungan vertikal dalam ruang yang sangat personal. Sebuah ranah yang seyogyanya tidak dimasuki dengan paksa oleh orang lain, kecuali memang kita membukakan pintunya dan berkata, misalnya "tolong ajari aku beribadah yang baik." Karena saya tidak suka ketika seseorang yang tidak saya persilahkan masuk kesitu tiba-tiba berkata, "bagaimana kalau kamu ikut saya bersembahyang di gereja?"

Ruangan itu, seharusnya dipisahkan dengan urusan duniawi. Syukur-syukur jika ruangan itu bisa memantulkan vibrant yang membuat urusan duniawi lebih baik. Tapi, jangan sampai karena ruangan itu memenuhi seluruh hati kita, kemudian kita mencampuradukkan hubungan manusia-manusia dengan keyakinan mereka pada tuhannya. Tak perlulah kita dobrak paksa untuk masuk ke area itu dan melanggar hak keimanan orang lain. Toh, masing - masing orang pastilah merasa apa yang di-imani benar, bukan? Biarlah area itu tetap begitu, tetap benar karena iman bagi yang meyakininya.

Dan, tak bisakah kita memakai ukuran lain untuk menimbang interaksi duniawi, manusia dengan manusia lainnya, atau manusia dengan sekitarnya. Tak bisakah kita memakai ukuran bernama kebaikan saja? atau cinta kasih? atau, kemerdekaan personal tanpa harus melanggar kemerdekaan lainnya?

Kala berkata demikian, saya membayangkan tuhan sedang tertawa-tawa, melihat manusia yang diciptakannya berbeda-beda saling ribut menganggap dirinya paling benar di antara lainnya.