Wednesday, February 19, 2014

tebu dan kata "cukup"


pagi ini saya melihat di wall teman kantor, mba susie,  gambar potongan tebu. tidak ada yang istimewa dari tebu, kecuali dia adalah batang yang saat ini hampir langka ditemukan, setidaknya di jakarta. dan melihatnya lagi pagi ini, seperti menyeret ingatan ke masa kanak-kanak, dimana ingatan tentang tebu adalah hal-hal yang menyenangkan.

saya berasal dari sebuah desa dimana ladang tebu sangat banyak jumlahnya. dan ketika musim panen tiba, tebu-tebu tersebut akan diangkut oleh cikar, gerobak besar yang ditarik oleh 2 sapi, dari ladang hingga ke tempat penyimpanan. biasanya, ketika musim panen tiba, kami (saya dan anak-anak lainnya) akan ikut sibuk ke ladang entah punya siapa, mengambil sisa-sisa batang tebu yang tidak diangkut. atau, kami diam-diam menarik batang tebu dari Cikar yang sedang berjalan. atau, kadang jika si bapak penarik cikar sedang berbaik hati, kami boleh menumpang Cikarnya sambil makan tebu, hingga sampai di rumah. kebetulan rumah saya berada di jalanan utama yang sering dilalui oleh Cikar.

suatu hari, karena keasyikan menunggu Cikar yang lewat mengangkut tebu, kami baru pulang menumpang Cikar ketika Maghrib hampir tiba. di samping rumah (jalan kecil yg sering dilewati cikar), ibu sudah menunggu dengan muka yang ampun nian menakutkannya. Waktu kecil, ketakutan saya bisa dihitung jari. Yang pertama adalah melewati pohon mangga besar yang usianya lebih tua dari kakak saya, yg memisahkan rumah simbah dan budhe. entah kenapa saya selalu membayangkan banyak setan bergelantungan saking besarnya pohon itu. Yang kedua adalah melihat ibu murka. karena jika ibu sudah murka, entah apa yang menyusul kemudian. Bisa cubitan yang akan membekas biru di paha, bisa juga jeweran yang menyakitkan telinga, atau hm..bonus yang menjadi hukuman.

ibu sudah sering melarang kami makan tebu, karena bisa bikin batuk lah, biar tidak keluyuran di ladang lah, dan tidak elok melihat anaknya menarik-narik batang tebu dari cikar. untuk membuat kami jera, ibu menghentikan cikarnya dan meminta beberapa batang tebu ke si bapak yang mengangkutnya. sebagai hukuman, beberapa batang tebu yang banyak jumlahnya itu..ibu suruh habiskan! kalau sekarang sih mungkin saya bilang, "ya ngga gitu juga kali bu...", tapi waktu itu jangankan ngeles, membantah sedikit saja bisa panjang urusannya. hahaha. maka dengan sangat terpaksa, kami menyesap batang-batang tebu itu hingga sakit tenggorokan :D

sebenarnya jika disuruh pilih, mending saya dijewer atau dicubit deh daripada dihukum menghabiskan tebu. jenis hukuman ini paling menyebalkan, karena akan meninggalkan trauma pada kesenangan kami. selain tebu, hukuman serupa dikenakan juga pada saya yang ngeyel untuk makan sambal bawang terus, hanya mau makan wortel dan tidak makanan lainnya, dll.

tapi memang begitulah tujuan ibu menghukum, agar kami anak-anaknya tidak terlalu fanatis menggemari sesuatu dan tahu batas-batas "cukup". agar kami tidak rakus, agar kami bisa memutuskan berhenti sebelum disuruh berhenti. agar kami tahu, sebaik/seenak apapun sesuatu, jika berlebihan tidak lagi menyenangkan. 

kalau menengok gaya pengasuhan orang tua dulu dan membandingkan dengan gaya-gaya orang tua sekarang, berasa banget betapa dulu saya dididik dengan sangat keras. meskipun demikian, tak ada sedikitpun dendam. karena pikiran bahwa orang tua melakukan itu adalah hal yang wajar. wajar karena orang tua ingin membekali anaknya dengan menanamkan nilai-nilai yang bisa menjadi pegangan di hidupnya kelak. wajar karena dilakukan dengan alasan, untuk kebaikan saya.

ini pulalah yang saya terapkan pada #anaklanang sekarang. komunikasi. jadi dia memahami alasan kenapa kami orang tuanya melakukan hal demikian. kenapa kami marah, kenapa kadang kami menghukumnya dengan tidak jajan, atau menonton tivi. kenapa dia terkadang tidak boleh memakan makanan tertentu padahal di kesempatan lainnya dia boleh. kenapa tidak semua yang diinginkan selalu ada. kenapa kami mengatakan tidak dan membuatnya kecewa. 

sekaligus saya mengajarkan tentang rasa percaya, bahwa dia memahami komunikasi kami dan tidak melakukannya sembunyi-sembunyi, seperti dia mempercayai bahwa apapun yang orangtuanya lakukan, adalah yang terbaik untuk kami.

No comments: