Friday, May 16, 2014

maaf yang (tidak) panjang

: untuk seorang teman. 

Waisak baru saja lewat. Momen ini, kukira adalah pengingat akan dirimu. Pengingat kalau kita pernah muda. Pengingat bahwa kita pernah cukup nekad. Pengingat bahwa kita pernah punya banyak daya, atau tepatnya nyali untuk menggelandang di Jogja, menyewa motor lalu ke Mendut, berakhir dengan Waisak di Jogja. Pengingat kesenangan-kesenangan tanpa pikir panjang yang kita lakukan bersama. 

Dan ini, adalah Waisak 5 tahun kemudian. 
Selamat merayakan hari raya Waisak. Semoga selalu damai, di hati kita, di dunia. 

Ucapan yang terlambat pastinya, bukan karena aku lupa, tapi karena baru sekarang aku punya keberanian untuk mengatakan ini padamu. Setelah bertahun - tahun, untuk apa yang terjadi di antara kita aku menyadari, aku hanya berlari. Selama ini, seringkali kukatakan, aku adalah orang yang tidak menyukai konflik dan lebih sering menghindari. Mungkin, itu semua hanyalah alasan karena aku ingin melarikan diri. 

Padahal, tidak semua orang bisa melarikan diri. hanya orang-orang yang bisa melupakan, yang bisa berlari. selebihnya, kenangan adalah muatan yang tidak bisa kita tinggalkan di belakang. 

Dan momen Waisak, pas untuk mengawali surat yang panjang dan mungkin akan membosankan ini.

Apa kabarmu, Non? 

Non. 

Mungkin panggilan ini lebih banyak kita gunakan dulu, ketimbang memanggil nama. Sehingga ketika aku menuliskan, "dear, kamu.." ada yang janggal disana. Lalu aku coba mengingat-ingat lagi, bagaimana dulu aku suka memanggilmu. Kupikir memang aku lebih sering memanggilmu Non, daripada namamu sendiri. Mungkin (lagilagi mungkin), karena panggilan itu menyamarkan selisih umur kita, mencairkan jarak - jarak dibandingkan aku harus memanggilmu dengan panggilan hormat semacam Mbak, atau Mbok. 

Panggilan yang lambat laun, memangkas sikap sopan santun antara aku dan kamu karena jarak umur kita. 

Dan kupikir, karena sopan santun yang terpangkas itulah, secara tak sadar membuatku kurang ajar padamu. Kekurang ajaran yang akhirnya membuat jarak di antara kita melebar. Kekurangajaran untuk secara semena - mena masuk ke area pribadimu, dan memasakkan pemikiranku padamu. Dulu. 

Karena tidak seharusnya aku begitu. Karena seharusnya, seberapapun dekat persahabatan kita, kamu tetaplah kamu, dan aku tetap menjadi diriku. Seharusnya aku bisa menerima keputusanmu tanpa sok mengukur dan menilai. Seperti yang kamu lakukan dulu padaku. Seharusnya aku pun bisa bersikap begitu. 

Dan untuk itu, Non.. aku minta maaf.

Aku minta maaf untuk kekurangajaranku. Untuk perkataanku yang tentunya membuatmu sebal. Untuk kelancanganku memasuki area pribadimu. Untuk tidak bisa memahami dan berada di pihakmu ketika kamu membuat keputusan. Untuk itu, aku minta maaf. 

Jika kukatakan itu semua karena aku menyayangimu, tentulah hal itu terdengar sebagai alasan basi. Karena meskipun aku menyayangimu, hal itu tidak lantas bisa membuatku semena - mena. 

Jadi, mari katakan demikian : 
Aku yang menyayangimu, telah berlaku kurang ajar. Dan aku ingin meminta maaf untuk itu. Maaf tanpa alasan yang dipanjang-panjangkan selain yang sudah kukatakan. 

Selamat hari ini, Non. Disini sudah mulai menjelang malam. Dan aku sedang duduk di sebuah kedai kopi sendirian. 

I miss you, 
-dew-

No comments: