Wednesday, July 27, 2016

rumah

apa itu rumah?

sejak tak lagi tinggal dengan orang tua selepas SD,  sulit sekali saya mendefinisikan rumah. saya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. SMP saya pindah ke kota kecamatan, numpang di rumah kakak. meski setiap minggu atau dua minggu sekali saya pulang ke rumah orang tua, tapi tetap saja saya tinggal terpisah. saya punya dua rumah yang menjadi tempat saya pulang, rumah di hari sekolah dan rumah di akhir pekan. rumah bagi saya kala itu adalah rumah kakak dan orang tua.

SMA, saya pergi lebih jauh lagi. saya memutuskan untuk sekolah di Bali, kali ini numpang tinggal bersama kakak lainnya, yang menyewa kost-kostan. atau jika di jakarta, dinamakan rumah petak, kamar dengan akses keluar masing-masing. kami berbagi teras dan kamar mandi dan dapur dengan penghuni lainnya. lalu rumahpun berubah gambaran : sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa kamar, dengan beberapa keluarga dan kehidupan masing-masing. rumah, yang menjadi tempat saya pulang, juga menjadi rumah untuk keluarga lain, beberapa adalah orang-orang asing yang tak saya kenal. sebuah konsep yang janggal.

setelah bekerja, rumah menjadi sesuatu yang makin abstrak. saya berpindah dari satu kost ke kost lain. saya berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. meski masih sama-sama di Bali, tapi iklim seminyak sangat berbeda dengan Denpasar. wilayah Nusa dua, sangat terasa bedanya dengan Kerobokan, atau Canggu. begitulah. selama 8-9 tahun, rumah buat saya adalah sepetak kamar yang menjadi bagian dari sebuah bangunan, yang luasnya tak lebih dari 3meter x 6meter.

meski demikian, selalu saja ada sebuah bangunan utuh dengan orang-orang tersayang yang selalu bisa saya sebut rumah, yang meski jarang sekali saya temui, tapi tetap dekat di hati. dan rumah itu ada di kediri. rumah yang tak pernah menolak kepulangan saya, rumah yang selalu hangat di setap kunjungan. rumah yang menua dengan sangat kentara, seiring dengan umur saya. rumah dimana ada bapak dan ibu di dalamnya.. :")






Monday, July 25, 2016

kebiasan makan

saya mungkin akan digolongkan menjadi orang tua diktator kalau parameter untuk mengukurnya adalah ilmu parenting masa kini, dimana anak ditempatkan pada subject yang mempunyai kehendak bebas mau ngapain aja, dan kita orang tua tinggal memfasilitasinya. meskipun saya mengklaim sebagai seorang liberal yang demokratis, tapi urusan makanan...eits, NANTI DULU!

saya berpendapat bahwa beberapa hal tidak bisa diserahkan begitu saja ke anak sesuai keinginannya. tidak bisa sesuatu hanya dicontohkan lalu anak akan mengikutinya. ada beberapa hal yang harus diajarkan, dan dalam proses mengajarkan itu, beberapa harus melalui jalan yang terjal dan berliku tapi harus terus maju. bahkan harus berdarah-darah tapi tak boleh menyerah. salah satunya, kebiasaan makan. 

mungkin, mengajarkan anak makan di keluarga saya bertentangan dengan ilmu parenting masa kini yang mengatakan antara lain biarkanlah anak makan dengan tangan, terserah masuk seberapa yang penting dia makan, atau berikan makanan ketika dia lapar. atau, yasudah ngga makan ngga papa selama dia ngga minta. duh, mana sabar ya? :))

di kelurga kami, aturan-aturan itu tidak berlaku. kenapa?  karena menurut saya, pola makan yang baik harusnya konsisten diajarkan sejak dini, atau jika diperlukan, sedikit dipaksa juga gapapa. kejam ya?  :D 

ya tapi gimana, belajar dari saya dan suami yang memiliki pola makan yang berbeda dan susah diubah ketika sudah tua, membuat saya tak ingin G seperti bapaknya, yang susah sekali membiasakan makan dengan sayur, karena memang dari kecil tak dibiasakan (baca : sedikit dipaksakan) untuk makan sayur. plus, G yang tidak bisa telat makan. sedikit saja terlambat, masuk angin. lalu demam, muntah-muntah, dan merembet ke hal lainnya. 

ini pula yang akhirnya mengubah metode BLW atau Baby Lean Weaning alias makan sendiri ke makan yang disuapin. karena saya ingin G bisa melahap makanan apapun maka saya akan menyuapinya. seiring pertumbuhannya, saya juga membuat komitmen untuk menghabiskan makanan yang disajikan di piring. dia tidak punya opsi menawar, apalagi meminta menu yang tidak ada. Tidak, saya tak mau bersusah payah membuatnya. i don't wanna feed his ego. :D

sebenarnya selain masalah gizi yang cukup, juga agar dia lebih fleksibel menerima makanan apapun yang kelak ada di hidupnya. kan tidak selalu ya dia punya akses ke makanan enak, tidak selalu dia tinggal di daerah yang makanannya akrab di lidah. saya ingin dia mampu menerima kondisi itu. alasan lainnya adalah agar dia tidak pernah membuang makanan, tidak membuang-buang uang. dia hidup dengan fleksibilitas dan kesadaran penuh. tsah, berat amatan yaaa... 

tidak selalu semuanya berjalan dengan manis. terkadang anaknya menolak beberapa jenis makanan. dia boleh menolak, tapi harus punya alasan, dan jika alasannya bisa saya tumbangkan, maka dia harus makan. hahahaha. urusan makan saja bisa jadi diskusi panjang yang melelahkan. 

tapi yaaaa, cara itu saya pikir memang banyak manfaatnya. di setiap diskusi tentang kenapa dia menolak makanan, saya belajar cara berfikirnya (karena sungguh, anaknya gigih dengan argumentasinya..tapi emaknya ngga kalah gigih!), dan dia belajar tentang bahan makanan dari alasan saya kenapa dia perlu makan ini dan itu. dia belajar tentang karbohidrat, protein, vitamin. dia belajar bagaimana otot bekerja, bagaimana dia bisa tambah tinggi. dan seterusnya. 

setelah sekian tahun, sekarang ketika dia sudah sekolah dan harus membawa bekal, lebih berasa lagi manfaatnya. emaknya jadi effortless. hahaha. ya ngga effortless banget sih, tetap rempong nyiapin makanannya, tapi setidaknya ngga harus nyiapin makanan yang beda-beda sesuai kemauannya. bisa sekali masak untuk menu sarapan dan makan siang serta bekal, karena dia ngga masalah banget menyantap makanan yang sudah dingin. sesuatu yang ternyata menjadi masalah buat anak lain...

toh, menu yang disiapin sehat kan?