Tuesday, August 30, 2016

Bali Marathon 2016 part one : a healing race


"sesungguhnya jarak yang ditempuh setiap kali berlari adalah kemenangan atas pertarungan dengan diri sendiri. "
bagaimana tidak, jika sebelum lari, isi kepala sudah berdebat, apakah sebaiknya melanjutkan tidur nyenyak di balik selimut atau melawan dinginnya pagi dengan berlari. sepanjang jalan yang dilaluipun, isi kepala tak hentinya menimbang-nimbang, apakah akan terus berlari atau jalan kaki. apakah akan menempuh 3 kilometer atau 5 kilometer pagi ini. dan pada setiap kilometer, selalu muncul pertanyaan,

apakah sudah waktunya menyerah atau bertahan lebih lama lagi?

mekanisme bertahan 

setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk bertahan. dari kesepian yang dia hadapi. dari kehilangan yang menyedihkan. dari penghianatan yang menyakitkan. dari rindu akan rumah yang tak terperikan. mekanisme pertahanan inilah yang menjaganya untuk tetap tegak berdiri, untuk tetap tersenyum, atau untuk tetap berjalan seakan tanpa beban.

setiap orang, memiliki cara sendiri, untuk bertahan. dan saya, memilih untuk mengabaikan. mengabaikan kesedihan, mengabaikan rasa kehilangan, mengabaikan rindu untuk pulang. saya memilih untuk menafikkan perasaan-perasaan itu, dan memilih untuk berjalan. tapi ternyata, oh ternyata, pilihan itu menimbulkan efek lain, ingatan yang semakin pendek karena banyak hal yang terlupakan. hal-hal yang pada akhirnya muncul acak melalui mimpi-mimpi yang tidak terencanakan, yang seringkali membuat saya bangun tengah malam dengan perasaan tak karuan.

dan ingatan saya tentang bali dan bali marathon bukanlah sesuatu yang menyenangkan. pada tahun-tahun pertama saya di jakarta, saya bertahan dengan menafikkan ingatan tentang bali. tentang wajah orang-orang kesayangan. tentang tempat dan peristiwa yang tak pernah lagi saya sebutkan. bahkan, saya tak lagi memotret dan menulis tentang senja, sesuatu yang dulu sangat saya puja. secantik apapun senja di langit jakarta, tak akan membuat saya tergoda untuk mengabadikannya. karena, buat saya senja adalah bali dan pantainya. jika bukan, lebih baik lupakan saja.

saya sangat jarang berkomunikasi dengan teman-teman di bali, hingga akhirnya saya benar-benar tak berkomunikasi lagi. saya mengabaikan nama-nama dan foto yang melintas di newsfeed facebook saya, saya unfollow beberapa di antaranya. semata hanya agar saya bisa bertahan, dari rindu yang sangat, untuk pulang.

bali marathon 2015

begitu pula dengan bali marathon tahun lalu. race yang direncanakan sebagai race pertama pun gagal total. pendaftaran yang sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya, terpaksa digantikan orang lain. apa pasal? saya hamil tepat 2 bulan sebelum race. antara senang karena kami memang mengharapkan kehamilan ini, dan tidak senang karena saya terlanjur excited dengan race pertama : bali marathon.

sempat sangat galau, apakah saya akan tetap race 21 kilometer atau membatalkannya saja. saya mencari berbagai referensi apakah lari aman untuk yang sedang hamil. berapa jarak aman lari yang bisa dilakukan ibu hamil. apakah begini, apakah begitu. dan dari berbagai bacaan yang mendukung keinginan saya, selama masa itu saya tetap berlari, meski maksimal hanya 6 km, itupun dengan pace yang tergolong jalan cepat. masih dengan keinginan akan bisa lari half marathon, toh dari artikel yang saya baca banyak yang melakukannya. keinginan yang ditentang banyak orang.

half marathon, dan di bali. race pertama. idaman kan?

tapi karena hamil pun adalah sesuatu yang saya idam-idamkan, maka dengan berat hati akhirnya saya dan suami mengambil keputusan : saya batal ikut bali marathon. jangan tanya gimana sedihnya. sedih, tapi apa boleh buat. suami tetap berencana ikut, dengan latihan yang lumayan intens. ujung dari latihan intensnya adalah..cedera! gara-gara lari 17km di tanggal 17 agustus, sekitar 2 minggu menjelang race, kakinya cedera. lalu kami berduapun galau lagi. apakah tetap akan berangkat ke bali, atau tidak. ditunggu beberapa hari, cederanya tidak berkurang. jadilah suamipun memutuskan untuk batal. pembatalan race suami ini, menambah keikhlasan saya :D

saat kami berdua sudah bulat tekad dan penuh ikhlas untuk tidak ikutan race pertama, musibah datang. usia kehamilan yang menginjak 9 minggu divonis blighted ovum, alias janin tidak tumbuh. jadi hanya ada kantong rahim yang membesar, sebelum pada akhirnya luruh. sedih, jauh lebih sedih daripada saya harus membatalkan ikut race, dan merasa sangat bersalah (dan oh, saya baru berani mengatakan perasaan saya sekarang..) . belum lagi mulut-mulut jahanam yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah saya yang terus berlari ketika hamil. atau yang bilang karena saya tak sepenuh hati menerima kehamilan itu, makanya keguguran. suara-suara jahanam yang sungguh menyebalkan dari orang-orang yang tak berperasaan. (oh, maafkanlah aku dan mereka yang tidak tahu..)

meski dokter sudah meyakinkan bahwa blighted ovum berbeda dengan keguguran, tetap ada rasa bersalah. saya bertahan dengan tak pernah lagi menyebut tentang bali marathon, bahkan ketika membincang jakarta marathon, yang pada akhirnya adalah race pertama.

a healing race. 

ketika pendaftaran bali marathon 2016 dibuka april lalupun, bayang-bayang tak mengenakkan tentang bali maraton sebelumnya belum hilang. saya tak mendaftar, dan saya mengabaikan segala informasi tentang bali marathon. masih ingat kan bagaimana mekanisme bertahan saya? ya, dengan mengabaikan. tapi mengabaikan membuat segalanya tak tuntas. saya masih merasa bersalah, dan saya merasa tak selesai. saya merasa kali ini saya tak bisa berlari dengan pura-pura tak peduli. saya tak ingin hingga bertahun-tahun kemudian ketika bali marathon disebut, masih ada perasaan tak enak yang menyergap tiba-tiba.

i need a closure.

setelah berdiskusi dengan suami,  sekitar sebulan menjelang race akhirnya kami memutuskan untuk ikut. ini mungkin adalah "closure" yang saya perlukan, saya perlu mengatasi rasa trauma. yakni dengan menjalani setiap detail prosedur race hanya untuk dihadapkan pada ingatan yang tidak mengenakkan.

saya perlu merekonstruksi peristiwa dan melewati setiap fasenya, yang selama ini saya "skip and moving forward". saya seperti mengulang sebuah peristiwa, dengan melakukan perbaikan di sana-sini. saya mengerem rasa exciting yang tahun lalu berlebihan. saya mengurangi rasa jumawa dan koar-koar yang tahun lalu levelnya mendekati norak. saya latihan lebih serius. saya berdoa lebih serius. (iya, saya serius berdoa :D) saya ubah niatan saya untuk race. jika sebelumnya lebih banyak karena pamer (helllooo...ini bali marathon ajang race bergengsi lho!), kali ini saya niatkan untuk perjalanan spiritual. hahaha. atau lebih tepatnya perjalanan untuk menyembuhkan.

dan bali marathon 2016, adalah perjalanan saya untuk melewati badai, alih alih bertahan dalam badai yang entah kapan akan usai.

And once the storm is over, you won’t remember how you made it through, how you managed to survive. You won’t even be sure, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won’t be the same person who walked in. That’s what this storm’s all about~  Haruki Murakami on Kafka On The Shore

Sunday, August 14, 2016

Majelis (Permusyawaratan) Rakyat

(pic by Roosvansia)

Kenapa ujug-ujug saya menulis tentang MPR sih? Iya, ini MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat yang itu lho! Tulisan yang mungkin agak berbeda dari tulisan lainnya, tapi ya gimana ya.. saya juga mempunyai ketertarika terhadap isu-isu negara. Tsah. kalau selama ini kebanyakan uneg-uneg hanya mentok di wall facebook, mari kita coba ceritakan dengan lebih panjang. Di blog.

Jadi begitulah, kenapa saya tertarik untuk mendaftar ketika Mba Mira Sahid memposting undangan di group untuk gathering Netizen dan MPR. Terus terang saya ingin tahu, sekarang porsi MPR bagaimana sih?

Sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi di Indonesia. MPR yang kala itu terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan mempunyai wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dan ini absolut sekali kan? Tentunya dengan wewenang tinggi lainnya yakni mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, yang mana semacam hukum dasar yang mengikat seluruh hukum dan tata negara Indonesia. Jadi kalau bisa mengubah UUD, sudah macam lembaga superpower kan ya? 

Tapi semuanya berubah ketika reformasi. Semenjak Presiden dan Wakit Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka fungsi MPR hanya mengesahkan saja presiden pilihan rakyat itu. MPR juga yang berhak membuat keputusan untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden jika DPR menghendaki. tentunya dalam keadaan yg darurat macam 98 atau ketika Gus Dur mundur dari presiden tahun 2001. Semoga ngga lagi-lagi deh terjadi hal yang demikian. Jadi, MPR itu beda dnegan DPR ya. MPR ngga membuat dan mengeshakan Undang-Undang, jadi jangan tanya soalan UU Alkohol ke MPR , biar ngga diketawain :D 

Lalu, kalau ngga ada hal-hal yang luar biasa, MPR ngapain saja? Kan melantik Presiden hanya 5 tahunan, mengubah UUD entah berapa lama sekali, dan menyetujui usulan DPR untuk memberhentikan Presiden juga entah kapan (knock on wood!). Itu sih alasan saya mendaftar di gathering ini. Jadi kalau ngga ada PilPres, MPR ngapain sih? 

MPR tetap menyelenggarakan rapat tahunan yang digelar 16 Agustus, 2 hari dari sekarang! Rapat tahunannya ngapain? Mendengarkan laporan Presiden tentang kinerjanya selama 1 tahun yang disampaikan dengan pidato. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas MPR kan? Mendengarkan orang berpidato! Hahaha. Agenda lainnya adalah peringatan Hari Konstitusi yang jatuh pada tanggal 18 Agustus 2016, untuk memperingati disahkannya Undang Undang Dasar (UUD) 1945; dan acara ‘MPR Berdzikir’berupa ceramah dan doa bersama pada 29 Agustus 2016 untuk memperingati uang tahun MPR, yang terbuka untuk umum. Agustus ternyata juga bulan yang padat di MPR, mirip lah dengan perumahanku, yang menggelar aneka lomba Agustusan sebulan penuh -_____-" 



Di acara yang bertempat di salah satu kafe di Senayan City kemarin memang dibuat santai, yang datang bisa pakai baju apa saja asal bebas dan sopan ya, serta berwarna putih, biar kelihatan kalau kerja :D

Netizen yang datang pun ngga ada pesanan khusus harus ngapa-ngapain. Kita cukup mendengarkan plan mereka, kenalan sama ketua MPR Zulkifli Hasan dari Partai PAN, yang di kabinet 2009-2014 adalah Menteri Kehutanan. Intinya, MPR ingin lebih down to earth, tidak dianggap sebagai sebuah lembaga tinggi yang tak tersentuh. Sebagai salah satu lembaga yang menjadi aspirasi rakyat, sudah selayaknya MPR pun mendengar langsung aspirasi rakyat jelata.

Acara yang dibuat santai tersebut sudah dilakukan di beberapa kota lain, sebelum akhirnya ke Jakarta hari itu. Ya memang seharusnya demikian kan, saatnya lembaga tinggi kita berkeliling untuk berbincang dan mendengarkan rakyat, alih-alih menjadi lembaga yang dikultuskan dan tak tersentuh di Jakarta sana? :)