Monday, March 05, 2007

tentang cerita tanah dewa

perjalanan.

pernah aku ceritakan padamu tempat dimana aku menghabiskan hari?

baiklah. mungkin perlahan, lewat kata yang terbatas aku bisa melukiskan sesuatu akanku. aku hidup di satu tempat yang seringkali dikata sebagai tanah dewa.

apa coba yang kurang? ketika aku merindukan pagi dengan mentari yang cantik menyinari, tinggal kukayuh sepeda, mungkin tak perlu lebih dari 30 menit untuk sampai. ketika aku katakan aku merindukan pantai dengan pasir putih dan ombak yang mengakrabi kaki, tak lebih dari 1 jam aku sudah bisa mencengkeramai. ketika kubilang aku merindukan senja, tinggal kupilih tempat, pada jajaran gedung tinggi, pantai atau bangku panjang, dengan ditemani segelas kopi. lalu, ketika aku rindu untuk melihat bintang, aku tinggal katakan padanya, yang selanjutnya akan menggenggam tanganku menyusuri malam tanpa perlu terang neon untuk menyaingi. sawah, sungai, gunung, laut, bukan lagi barang mahal. dekat, meski tetap saja buatku rasanya mewah. belum lagi tempat makan bertaraf internasional berjejer menggoda.

apalagi yang kurang? sepanjang jalan mata mata memandang riang, seperti keramahtamahan telah terpatri erat berbaur senyum yang senantiasa mengembang. entah memang seperti itu, atau senyum terpasang karena sebuah kewajiban. tak perlu risaukan, karena disini semua aman. meski segala sesuatu terjual, dan dijadikan barang dagangan. dari pantai, gunung, sungai, lalu tarian, bahkan senyuman. apa yang tidak bisa diuangkan? apa yang tidak bisa membuat senang?

gemerlapnnya dunia ditawarkan. bersanding dengan kesakralan yang diagungkan. bahkan, nilai sakral sendiri seringkali jadi pertanyaan, ketika semuanya sudah menjadi tontonan. seperti sinetron, kadang segala sesuatu dibuat dalam proses kejar tayang.

belum, belum selesai aku bercerita. kemarin lagi - lagi aku bersepeda. menempuh perjalanan kebagian laen dari tanah dewa. negeri tak terjamah, temanku penah berkata demikian. dari awal dia sudah berpesan, jangan penuh pengharapan, karena kita tak lagi akan menjejak tanah kesayangan. tinggalkan kerinduan pada pantai, pada senja, pada secangkir kopi moccha, dan juga pada senyuman mesra. karena disini, kenyataan berkata beda.

maka mulailah aku berkelana. hanya satu jam, satu jam waktu yang kuperlukan untuk sampai disana. sama seperti satu jam yang kuhabiskan untuk menggapai pantai berpasir putih dan ombak yang mengakrabi kaki. tapi jangan bayangkan segala keindahan, karena disini kutemukan segala ketimpangan. jika di tanah dewa aku tak mengenal kelaparan, disini aku benarbenar melihat kesedihan. seperti kata teman, lupakan pantai, ombak, gunung, dan segala keindahan, karena disini hanya berjejal batu karang bekas letusan. gersang. bahkan pohonpun tumbuh dengan enggan.

tidak ada senyuman ramah, kecuali muka masam menahan amarah. tak terkata memang, tapi raut membilang semuanya. sunggingan pahit dan muka kelelahan tersebar dimana mana. tak ada sapaan hangat, yang ada hanya kata - kata penuh paksaan. tak berhasil, maka alih alih meminta minta. seribu, dua ribu, lima ribu, berapa saja ditawarkan hanya untuk mendapatkan rupiah. bujuk rayu, sampai dengan ancaman. tiba - tiba semua rasa aman menghilang. aku ketakutan. karena tak ada yang lebih menyeramkan dari manusia ketika dia sedang haus dan kelaparan.

lalu, masihkah kukata tak ada yang kurang? sedang disini satu jurang menganga lebar, jurang kesenjangan. siapa yang hendak disalahkan? sang penguasa ketika dia sibuk membangun hotel berbintang berjejer mewah dan lupa, kalau dibagian lain belum terjamah. pada jaman, yang terlalu cepat berjalan sedang di bagian lagi masih ada yang tertatih pincang. atau pada dewa, yang konon katanya mengutuk mereka untuk tetap menjadi peminta minta seumur hidupnya?

catatan singkat atas kesedihan. sisa perjalanan mendekati trunyan. dan bangli, kota di timur bali. dimana kesenjangan dan kemiskinan adalah kenyataan. tak lagi mimpi. empat maret dua ribu tujuh.

8 comments:

Anonymous said...

lagi lagi dituliskan dengan indah :)
jangan salahkan dewa, jangan juga salahkan orang lain. semua diawali dari diri sendiri

Anonymous said...

mata jadi berfikir...
tanah dewa yang kamu gambarkan dengan tanah dewa yang aku gambarkan sama wi...

penuh dengan ombak yang menggulung gunung, pohon dan sungai yang jernih mengalir....

tapi bagi mereka lebih indah jika semua itu dihilangi dengan gedung gedung tinggi dan hotel berbintang mewah.

dan benar kan... tentang ini tentang itu darimu memang indah menyentuh adanya

Anonymous said...

jadi mengingat lagi.. 20 tahun yg lalu saya pernah menjejak di tanah dewa, mempesona buat seorang yang masih belum berpikir ttg kehidupan dan kematian, kebaikan dan kejahatan, juga kesejahteraan dan kemiskinan.

ah, bukankah dunia selalu bermuka dua dengan dalih keseimbangan?

Anonymous said...

dua sisi yang sangat berbeda ...

Anonymous said...

bukannya kita merasa/jadi lantaran ada yang kurang kaya
=
bukannya kita kelihatan cantik/rupawan karena ada yang kurang cantik/rupawan
=
Keselarasan != tidak adil
=

Anonymous said...

"karena tak ada yang lebih menyeramkan dari manusia ketika dia sedang haus dan kelaparan"

aku gak bisa mencelamu lagi kali ini dee, tulisanmu bagus. seuntai kalimat singkat seperti itu aja bisa membuatku berkhayal melebihi film2 yang pernah dibuat stephen spielberg, hmmm... bagus. saludos, great capture there.

Anonymous said...

lama tak membaca tulisan cantik...

Anonymous said...

kesenjangan...it's everywhere...