Monday, September 02, 2013

Rumah untuk #anaklanang

Oh well, sekali lagi.

Saya tak bisa konsisten bahkan untuk memegang komitmen pada diri sendiri. Komitmen untuk  kembali menulis satu saja tulisan dalam seminggu.. Satu bulan terlewati dari tulisan terakhir, Agustus yang sebenarnya banyak cerita, justru tak terabadikan satupun. Terlalu banyak kejadian, terlalu sedikit waktu untuk menuliskan.

Agustus.

Hari Raya di awal bulan, rencana mudik yang berantakan karena si #anaklanang sakit, mobil yang tak kunjung keluar dari bengkel, koneksi internet yang tidak ada di kampung halaman, si mbak yang sempat mengirimkan pesan untuk tidak kembali (meski akhirnya dia meralatnya kembali). Belum lagi setelah kembali ke ibukota, kerjaan yang sangat menumpuk, si mbak yang belum kembali juga meski saya sudah mulai bekerja, dan acara - acara di lingkungan rumah di antaranya. Beberapa hal yang benar- benar menguras tenaga dan pikiran, kala itu. :D

Saung depan rumah kami. Terima kasih pada tetangga baik hati yang menginisiasi :D

Membincang lingkungan rumah yang kami tempati sekarang, seakan tidak ada habisnya. Tidak ada habisnya pula acara - acara diadakan disini. Entah acara keagamaan, family gathering atau acara tujuhbelasan dua putaran yang baru saja lewat. Di bulan Agustus lalu, rasio acara di akhir pekan adalah 3 : 5. Dari perayaan 17an (ini saja ada 2 hari ), lalu malam puncak perayaan kemerdekaan ( satu minggu setelahnya ) dan arisan bulanan.

Jika saya membincang ini dengan beberapa teman, terutama yang kenal saya dulu, pasti akan membuat mereka terheran-heran. Bagaimana saya bisa tahan dan bersenang-senang dengan itu semua? Hahaha.

Terlepas dari kesulitan saya untuk bersosialisasi, dulu saya adalah anak kost. Ikatan saya pada tempat tinggal seringnya tak lebih dari kasur untuk tidur, kamar mandi, dan CD player yang tak henti memutar lagu - lagu. Dan buku - buku. Selebihnya saya akan memilih tempat kost yang sunyi, semakin sunyi semakin baik. Semakin tak banyak tetangga yang saya kenal, semakin nyaman saya tinggal.

Dulu, bahkan saya punya pikiran, semakin banyak orang yang berada di sekitar saya, rasanya semakin sedikit ruang yang saya miliki. Dan pikiran itu, secara tak sadar mempengaruhi fisik saya. Sesak napas atau mual berlebihan jika saya ada di antara banyak orang.

Pawai Obor menjelang ramadhan.
 Banyak hal memang berubah sekian tahun belakang. Tapi perubahan yang paling saya rasakan adalah semenjak saya pindah dan menempati rumah ini. Saya mengenal banyak orang baik yang bersedia bersusah payah untuk melakukan sesuatu untuk orang lain. Orang - orang yang mempunyai energi positif dan membaginya dengan sekitar, termasuk saya. Orang - ornag yang membuat saya belajar banyak hal. Saya belajar untuk menekan ego, belajar untuk tidak berasumsi, belajar untuk bersosialisasi. Saya mengendurkan sekat-sekat yang selama ini menghalangi orang untuk mendekat, saya belajar untuk tidak berprasangka dan berekspektasi pada tetangga karena toh sayapun tak sempurna, saya belajar untuk selalu memberi apapun yang saya punya. Tenaga, pikiran, atau bantuan jika memang diperlukan.

Semua itu awalnya tak mudah memang, tapi ketika kami (saya dan suami) melakukannya untuk #anaklanang, semuanya terasa lebih menyenangkan.  Awalnya, saya dan suami melakukannya tak lebih agar anak kami nyaman tinggal di lingkungan ini. Kami, tak ingin membuatnya tumbuh dengan prasangka-prasangka. Tak ingin membuatnya tumbuh sebagai pribadi yang anti bersosialisasi. Tak ingin membuatnya berfikir bahwa orang lain adalah beban. Karena memang seharusnya begitulah manusia. Makhluk sosial dan selalu berbagi. Dan terlebih lagi, kami ingin meninggalkan ingatan - ingatan yang hangat dan menyenangkan, tentang lingkungan, tentang orang - orang sekitar, tentang keriuhan - keriuhan yang dia alami dan saksikan.

Hingga jika nanti dia bepergian, dia ingat rumah untuk pulang. Bukan hanya pada kami orang tuanya, tapi juga pada hangatnya kenangan.

No comments: